Review the article 'Poverty ‘down’, but not the hungry'

Poverty ‘down’, but not the hungry

Responding to the article 'Poverty down, but not the hungry, we can read in the article is that poverty in India declined, but not with the' hungry ', let's face it, calories declined from 2153 kcal per person per day in 1993-94 to 2020 in 2009-10 in rural areas and from 2071 to 1946 Kcal in urban areas according to a report from the National Sample survey Organisation (NSSO), based on a survey of 66 rounds. Even between 2004-05 and 2009-10, calorie intake per person per day declined from 2047 to 2020 in rural areas and from 2020 to 1946 in urban areas. This may raise questions about the reported decline in poverty as claimed by the Planning Commission. So also with protein and fat.
Thus, there must be the cause of all that, and in fact, what causes poverty in India so widespread?

Rapidly Rising Population:
The population during the last 45 years has increased at the rate of 2.2% per annum. On average 17 million people are added every year to its population which raises the demand for consumption goods considerably.

Low Productivity in Agriculture:
The level of productivity in agriculture is low due to subdivided and fragmented holdings, lack of capital, use of traditional methods of cultivation, illiteracy etc. This is the main cause of poverty in the country.

Under Utilized Resources:
The existence of under employment and disguised unemployment of human resources and under utilization of resources has resulted in low production in agricultural sector. This brought a down fall in their standard of living.

Low Rate of Economic Development:
The rate of economic development in India has been below the required level. Therefore, there persists a gap between level of availability and requirements of goods and services. The net result is poverty.

Price Rise:
The continuous and steep price rise has added to the miseries of poor. It has benefited a few people in the society and the persons in lower income group find it difficult to get their minimum needs.

Unemployment:
The continuously expanding army of unemployed is another cause of poverty. The job seeker is increasing in number at a higher rate than the expansion in employment opportunities.

Shortage of Capital and Able Entrepreneurship:
Capital and able entrepreneurship have important role in accelerating the growth. But these are in short supply making it difficult to increase production significantly.

Social Factors:
The social set up is still backward and is not conducive to faster development. Laws of inheritance, caste system, traditions and customs are putting hindrances in the way of faster development and have aggravate" the problem of poverty.

Political Factors:
The Britishers started lopsided development in India and reduced Indian economy to a colonial state. They exploited the natural resources to suit their interests and weaken the industrial base of Indian economy.

To solve poverty is not easy, but if the above matters can be resolved, then most likely be solved poverty and hunger can be addressed as well. However, it is most difficult to change is, of caste, caste differences that include India's largest contributor in his poverty, so that the rich will get richer and the poor will get poorer. Thus my response on that article, I hope to will be use full, amin.

Konsep Akad

A. Pengertian Akad
Akad (ikatan, keputusan, atau penguatan) atau perjanjian atau kesepakatan atau transaksi dapat diartikan sebagai komitmen yang terbingkai dengan nilai-nilai Syariah

Dalam istilah Fiqih, secara umum akad berarti sesuatu yang menjadi tekad seseorang untuk melaksanakan, baik yang muncul dari satu pihak, seperti wakaf, talak, dan sumpah, maupun yang muncul dari dua pihak, seperti jual belim sewa, wakalah, dan gadai.

Secara khusus akad berarti keterkaitan antara ijab (pernyataan penawaran/pemindahan kepemilikan) dan qabul (pernyataan penerimaan kepemilikan) dalam lingkup yang disyariatkan dan berpengaruh pada sesuatu.

Rukun dalam akad ada 3, yaitu : pelaku akad, objek akad, dan shighah atau pernyataan pelaku akad, yaitu ijab dan qabul. 

Pelaku akad haruslah orang yang mau melakukan akad untuk dirinya dan mempunyai otoritas Syariah yang diberikan pada seseorang untuk merealisasikan akad sebagi perwakilan dari yang lain. Objek akad harus ada ketika terjadi akad, harus sesuatu yang disyariatkan, harus bisa diserahterimakan ketika terjadi akad, dan harus sesuat yang jelas antara dua pelaku akad. Sementara itu, ijab qabul harus jelas maksudnya, sesuai antara ijab dan qabul, dan bersambung antara ijab dan qabul.

Syarat dalam akad ada empat, yaitu : syarat berlakunya akad, syarat sahnya akad, syarat terealisasikanya akad, dan syarat Lazim.

 B. Akad yang digunakan oleh Bank Syariah
Akad atau transaksi yang digunakan bank syariah dalam operasinya terutama diturunkan dari kegiatan mencari keuntungan dan sebagian dari kegiatan tolong-menolong. Turunan dari tijarah adalah perniagaan yang berbentuk kontrak pertukaran dan kontrak bagi hasil dengan segala variasinya. Cakupan akad yang kan dibahas meliputi akad perniagaan yang umum digunakan untuk produk bank syariah.

C. Keterkatian Akad dan Produk
Allah telah menghalalkan perniagaan dan mengharamkan riba. Inilah dasar utama operasi bank syariah yang meninggalkan penggunaan sitem bunga dan menerapkan penggunaan sebagian akad-akad perniagaan dalam produk-produk bank syariah.
Perlu diingat bahwa dalam melihat produk-produk bank syariah, selain bentuk atau nama produknya, yang perlu diperhatika adalah prinsip Syariah yang digunakan oleh produk yang bersangkutan dalam akadnya, dan bukan hanya nama produknya sebagaimana produk-produk bank konvensional. Hal ini terkait dengan bagaimana hubungan antara bank dan nasabah yang menentukan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Selain itu, suatu produk bak syariah dapt menggunakan prinsip Syariah yang berbeda. Demikian juga, satu prinsip Syariah dapat diterapkan pada beberapa produk yang berbeda. Akad atau transaksi yang berhubugan dengan kegiatan usaha bank Syariah dapat digolongkan ke dalam transaksi untuk mencari keuntungan dan transaksi tidak untuk mencari keuntungan.

1.7 Decline and Fall

The extraordinary enterprise represented by Muslim scholarship, science, religion and commerce probably reached its highest level of achievement at the end of the fifteenth century; the reversal since that time has been quite remarkable. From around the middle of the sixteenth century, Islamic learning began to be superseded by a dramatic growth of knowledge in the West. In this last respect, the Muslim world was actually a victim of list own success. The fall of Constantinople to the Turks in 1453 promted a mass exodus of Byzantine scholars to Rome and other European centres of learning. They brought with them the learning of ancient Greece, which had been preserved in the libraries and universities Byzantium, and thereby set in motion a process of intellectual reawakening which eventually culminated in the Renaissance, and it was the later which ultimately brought about the eclipse of Islam as a world power.

One consequence of the Renaissance was broadening of European horizons in terms of world geography; the great voyages of discovery at the end of the fifteenth century quite literally put Asia on the map and enabled Europe to challenge the Muslim hegemony of East-West trade. Vasco da Gama’s arrival off the Malabar Coast of India, in 1498, marked the beginning of the end of the long-standing Muslim domination of trade in the Indian Ocean and beyond, though the battle was fiercely fought in the initial years. With the Portuguese conquest of Malacca in 1508, the fight was over. Little by little, Muslims began to lose out to the economic, technological and military advances of the West and the Islamic world entered into a long, slow process of decline, drawn out over centuries, culminating in colonization by the West and the slicing up of the Ottoman Empire in the aftermath of the First World War.

Suara Nasabah – Bab 3 bagian pertama

Dalam bab ini rakyat miskin dari 16 negara berkembang bercerita mengenai pengalaman mereka dalam menggunakan jasa keuangan mikro institusional. Suara nasabah ini menunjukkan dengan jelas bahwa kemiskinan dan kurangnya pendidikan tidak menghalangi pengetahuan tentang bisnins sehat, pertimbangan jelas mengenai keunggulan komparatif dari pilihan yang tersedia, atau kemampuan unut menanggulangi hambatan.
Nasabah juga bercerita bagaimana akses atas keuangan mikro dapat menolong mereka dalam kesulitan parah, dan mengenai peran yang dapt dimainkan untuk memajukan kepercayaan pada diri sendiri.
dalam banyak hal semua nasabah keuangan mikro adalah serupa di seluruh dunia”
Bab ini menceritakan pengalaman beberapa orang yang merupakan nasabah lembaga keuangan mikro; dimana memungkinkan, dinyatakan dalam kata-kata mereka sendiri. Dengan beberapa pengecualian, suara yang didengar disini adalah dari tahun 1990an. Semua pernyataan tersebut dipilih dari ceritera lisan dan tulisan nasabah keuangan mikro yang dikumpulkan.
     Ada lima perntanyaan yang disikapi disini : 

  1. Apakah orang miskin memahami produk dan jasa keuangan mikro, dan apakah mereka mengetaui bagaimana menggunakanya? 
  2. Dapatkah keuangan mikro membantu masyarakat miskin yang aktif secara ekonomi untuk mengembangkan dan mendiversifikasi usaha dan meningkatkan pendapatan mereka? 
  3. Dapatkah akses atas jasa keuangan meningkatkan kualitas hidup para nasabah keuangan mikro?
  4. Dapatkah akses atas jasa keuangan mikro membantu masyarakat miskin yang aktif secara ekonomi dalam saat-saat kesukaran rumah tangga yang parah?
  5. Dapatkah lembaga keuangan mikro yang sukses memajukan kepercayaa pada diri sendiri para nasabah mereka?

Meskipun semua persoalan ini saling berkaitan, mereka dibahas secara terpisah untuk menyoroti pandangan nasabah mengenai masing-masing topic. Informasi lain juga muncul. Kami belajar bagaimana semua nasabah keuangan mikro ini mengelola sumber daya mereka; bagaimana mereka menabung “up”, “down”, dan “through”; untuk maksud apa kredit dan tabungan mereka digunakan; dari sumber apa mereka membayar kembali pinjaman mereka; bagaimana mereka menghasilkan cukup keuntungan untuk membayar bunga pinjaman mereka; bagaimana mereka mengembangkan peluang menghasilkan pendapatan dengan tabungan; dan bagaimana mereka menciptakan pekerjaan bagi orang lain.

Apakah Penduduk Miskin Memahami Produk dan Jasa Keuangan Mikro, dan Apakah Mereka Mengetahui Bagaimana Memanfaatkanya?
Sepanjang awal tahun 1980an, ketika pemerintah Indonesia mempertimbangkan untuk mengubah BRI unit desa ke system perbankan mikro komersial, banyak petugas Indonesia merasa sangat khawatir bahwa “ penduduk desa kami tiak ‘menyukai bank’”. Pada waktu itu ada banyak pandangan yang berlaku dalam pemerintah dan sector keuangan bahwa penduduk pedesaan negara adalah miskin dan tidak berpendidikan, tidak memahami persyaratan kredit sector Formal dan tidak akan membayar kembali pinjaman bank, tidak mempercayai bank, dan tidak menabung sama sekali (karena mereka mengkonsumsi semua yang mereka hasilkan) atau lebih suka menabung dalam hewan atau emas (karena tidak “cukup dewasa” untuk menabung dalam bank).
Biasanya pandangan seperti itu dirasakan oleh baik masyarakat miskin perkotaan maupun masyarakat miskin pedesaan. Nampaknya ada kekhawatiran dalam sector kuaangan Formal mengenai apakah rakyat berpenghasilan rendah cukup terdidik, termotivasi, dan banyak mengenal keuangan untuk secara masuk akal mampu mengelola sumber daya mereka dan memanfaatkan jasa keuangan secara efektif. Beberapa contoh persepsi nasabah disediakan dibawah ini:

1.       Indonesia: Memahami Suku Bunga
Pada awal tahun 1980an TS sorang petani Indonesia yang memiliki sebidang kecil sawah, pergi ke kantor BRI unit desa local untuk mengangsur pembayaran kredit subsidi BIMAS. Pada waktu itu sistem BRI unit desa meminjamkan dengan suku bunga efektif nominal 12% per tahun dan membayar suku bunga 15% pertahun untuk tabungan kecil. Saya kebetulan berada di kantor unit ketika TS datang berkunjung, dan kita mulai membicarakaan pinjamanya dan kemudian mengenai tabunganya.

            Msr : Apakah bapak juga menabung di kantor unit ini?
            Ts:    Tidak, tetapi saya mempunyai rekening tabungan di bank pasar
            Msr:  Berapa bunga yang bapak terima dari bank itu?
Ts:    12 persen pertahun
Msr: Tetapi BRI membayar bunga 15 persen pertahun untuk tabungan. Karena bapak harus kesini untuk membayar angsuran kredit, mengapa bapak tidak menabung disini untuk menerima bunga lebih tinggi?
Ts:    Saya sudah dapat melihat poster yang menyebutkan bahwa BRI membayar 15 persen. Namun percertakan berbuat kesalahan – poster itu salah.
Msr:  Mengapa bapak menganggap bahwa percetakan berbuat kesalahan?
Ts:   Kita mempunyai pemerintah yang baik dengan banyak orang pandai. Mereka tahu apa yang mereka lakukan. Apakah ibu menganggap bahwa pemerintah yang berpikiran sehat akan meminjamkan dengan 12 persen dan membayar 15 persen untuk tabungan? Itu akan membangkrutkan negara. Pemerintah kita tidak akan pernah melakukan itu!

2.       Kenya: Permintaan Produk Tabungan
NR, seorang wanita yang memiliki dan menjalankan toko kecil di Naroibi, dimana ia menjual radio, suku cadang radio, dan kadang-kadang televisi kecil; toko juga memperbaiki radio. Saat  ia ditanyai dengan pertanyaan “apakah kalau K-REP (Program Usaha Pedesaan Kenya) menawarkan ketiga instrumen ini dia akan tertarik, yakni tabungan berbunga yang memungkinkan penarikan tanpa batas, rekening tabungan dengan suku bunga tinggi dimana penarikan diatasi sapmai 2 kali per bulan, dan rekening deposito berjangka yang bernunga paling tinggi diantara ketiga produk tetapi membebani denda untuk penarikan dana sebelum jatuh tempo. Ia langsung menjawabnya: “saya ingin mempunyai ketiga rekening semuanya karena mempunyai manfaat yang berbeda. Rekening yang memungkinkan penarikan dana setiap saat ditunakan untuk membeli suku cadang radio. Rekening yang memungkinkan penarikan dana 2 kali dalam sebulan digunakan untuk membayar gaji karyawan. Dan rekening deposito ditunakan untuk menabung”.

3.       Bangladesh: Pengelolaan sumber daya yang langka
TB adalah nasabah Asosiasi Kemajuan Sosial (ASA), suatu lembaga keuangan mikro di Bangladesh. Ceritanya menujukkan dengan jelas mengenai banyak keputusan rumit yang diambil oleh rakyat miskin daslam mengelola sumber daya mereka yang langka. Yang intinya dia ketika ia mendapat pinjaman, ia mempergunakan uangnya untuk abangnya, untuk ayahnya, dan sebagian lagi disimpan untuk angsuran. Dan pada saat yang memungkinkan ia mengambil uang dari abangnya dan ayahnya untuk memulai usaha dan untuk membayar angsuran, yang mana usaha yang dijalankanya dengan membeli kambing, membeli becak, melakukan sewa guna tanah, semua ia lakukan dengan bertahap.

4.       Peru: Kredit sebagai landasan peluncur
DM memperoleh pinjaman pertamanya tahun 1982. Ia menggunakan uang itu untuk membeli persediaan  barang dagangan untuk kios pasarnya yang kecil, usaha yang masih ditekuninya sewaktu wawancara 1996. Ia menjual bahan kebutuhan pokok, menjalalankan usaha dari kiosnya pada pagi hari dan dari rumahnya pada sore dan malam hari. Suaminya bekerja sebagai buruh lepas dan ia bersama dengan tiga dari anak-anak mereka membantu dalam usaha penjualan makanan.
Dua dari anaknya menjalankan usaha mikro. Yang satu menjalankan gabungan percetakan dan toko bahan kertas yang terletak berseberangan dengan rumah keluarga; ia juga telah mendirikan salon kecantikan dalam toko yang dikontrakkan kepada beberapa ahli kecantikan setempat. Putra yang lain memiliki toko reparasi peralatan listrik yang terletak dirumah yang berbatasan. Selain itu, rumah tangga memiliki satu mesin foto kopi dan menyediakan fotokopi. Kemudian DM memenuhi syarat untuk menerima pinjaman dari Accion Comunitaria berdasrkan kios pasarnya. Dan kemuidian ia meminjam lagi uang dari Accion Comunitaria. Pada saat wawancara, DM berturut-turut sudah mengambil 91 kali pinjaman dari Accion Comunitaria.

5.       Bangladesh: Menabung untuk masa depan
SafeSave, koperasi berdasarkan tabungan yuang menyediakan jasa keuangan untuk para penghuni kawasan kumuh di Dhaka, mewawancarai sejumlah nasabahnya pada tahun 1997-1998. Kebetulan respondenya adalah seorang janda. Yang intinya, ia harus menabung untuk masa depanya seperti semua orang, karena saat ini ia tak mempunyai putra lagi, dan apabila ia tidak menabung, maka ia tidak dapat hidup di masa tuanya. Pekerjaanya adalah pengemis yang jadwal kerjanya tidak setiap hari, dan hanya keluar beberapa jam saja. Meskipun demikian, ia lebih banyak menabung dibandingkan dengan beberapa orang yang bekerja. Dan ia berharap dapat menikmati masa tuanya dengan tidak terkatung-katung.

6.       Indonesia: memanfaatkan bersama produk kredit dan tabungan
RT dan BT, adalah sepasang suami istri yang berasal dari Bali, dan sekarang sudah mempunyai 10 macam usaha yang berbeda. Bermula ketika ia menjadi nasabah pada BDB (Bank Dagang Bali) tahun 1980. Pada waktu itu BT adalah seorang pelayan dan RT adalah pengemudi. Ketika tabunganya sudah memadai, ia membeli sebuah sepeda motor yang mereka sewakan. Dan mereka gunakan sepeda motor tersebut sebagai agunan untuk mendapat pinjaman dari BDB, dan mereka gunakan pinjaman tersebut untuk mendirikan sebuah rumah makan kecil dengan empat meja, usaha tesebut menguntungkan, dan mereka memanfaatkan laba untuk membeli tanah. Lalu mereka gunakan tanah tersebut untuk mendapat pinjaman yang lebih besar dari bank, dan membuka rumah makan yang lebih besar, begitu selanjutnya usaha yang ia jalankan, sampai ia mempunya 10 macam usaha yang berbeda.

Semua suara tersebut menunjukkan secara nya ta bagaimana jelas rakyat berpenghasilan rendah memahami penggunaan keuangan. Para ahli keuangan akan menghadapi kesukaran untuk mengajar mereka seperti perempuan di pasar Peru, istri di keluarga petani pedesaan Bangladesh, atau pelayan Indonesia tentang bagaimana memaksimalkan sumber daya mereka atau bagaimana menggunkan jasa keuangan yang tersedia dengan lebih baik dibandingkan dengan yang sudah mereka lakukan. Apabila jasa keuangan yang cocok bagi kebutuhan mereka tersedia, semua orang ini mengetahui dengan baik bagaimana menggunakannya.